Monday, June 2, 2008

Identitas Kota Banjarmasin

Saya setuju dengan pernyataan yang mengatakan bahwa kota Banjarmasin telah banyak kehilangan identitas kotanya. Pernyataan ini berdasarkan beberapa faktor dan alasan di bawah ini:

Identitas jati diri kota/ kawasan dibentuk oleh:

1. Kaitan Layout

* Bentuk

Pola. Teksture, warna, skala

* Komposisi

Kesatuan, Individual, kejelasan, kontras, keberagaman, kekompakan, kontinuitas

* Hirarki Space

Taman, alun-alun, jalan utama

2. Elemen Persepsi

Temperatur, sentuhan, bau/aroma, suara/bunyi

3. Display visual

Panorama, skyline, vista, frame, space series,

4. Simbol Penting:

Arkeologi, Sejarah, Arsitektur

5. Setting alamiah

Topografi, karakteristik lahan, struktur perkotaan

6. Elemen Fungsional

* Kegiatan

Perumahan, pertokoan, hiburan, pariwisata, pendidikan, budaya, industri

* Penduduk

Jumlah penduduk, umur, struktur sosial

Banjarmasin yang berstatus sebagai ibukota propinsi Kalimantan Selatan adalah propinsi dengan luas wilayah terkecil di Kalimantan dan dengan kepadatan penduduk tertinggi di pulau “Borneo” ini. Selain itu Banjarmasin secara historikal merupakan pusat kerajaan Banjar (sebelum berpindah ke Martapura) yang terkenal sebagai pusat penyebaran Islam di Kalimantan. Di zaman kemerdekaan, Banjarmasin menjadi ibukota propinsi Kalimantan sebelum dipecah menjadi beberapa propinsi seperti saat ini. Dari segi fisik dan non fisik kota Banjarmasin memiliki ciri khas yang berbeda dari daerah lain.

Dalam hal ini yang menjadi permasalahannya apakah identitas lokal tersebut masih tetap bertahan pada keadaan kota yang telah menghadapi berbagai macam masalah perkotaan. Kota yang sangat padat dengan tata ruang kota yang bercampur baur antara kawasan publik dan kawasan pemukiman saat ini ditambah parah dengan pembangunan rumah toko yang membludak hampir di seluruh kota ini. Belum lagi kondisi jalan yang cepat rusak, aklibat tak berfungsinya saluran air di pinggir-pinggir jalan, baik karena ketiadaan saluran, tersumbat sampah, maupun tingginya posisi saluran air dari pada ruas jalan yang ada. Dari keadaan ini identitas lingkungan yang ada dikalahkan oleh budaya asing yang cepat sekali menjajah kota.

Identitas lingkungan sedikit demi sedikit melenyap tertelan oleh bangunan-bangunan modern berskala raksasa. Bangunan-bangunan baru yang mendewakan teknologi dan mempersetankan aspek budaya; menekankan fungsi bangunan dan meremehkan keunikan-keunikan lokal; mengutamakan pertimbangan-pertimbangan rasional dan mengabaikan intuisi, semua itu menghasilkan wajah lingkungan yang monoton, membosankan, tak berkarakter.[1]

Pada awal tahun 60an bangunan-bangunan di Banjarmasin masih berbentuk bangunan panggung, bahan-bahan yang digunakan adalah bahan lokal, seperti atap sirap dan kayu ulin dan dibagian-bagian tertentu terdapat ornamen. Awal tahun 70an bangunan-bangunan permanen mulai bermunculan. Bangunan-bangunan baru ini tidak memperlihatkan citra kedaerahan. Hal ini menyebabkan terjadinya pencemaran visual pada beberapa bagian kota di Banjarmasin. Persaingan penampilan yang meliputi bentuk, warna, pola tekstur dan ukuran antar bangunan, terutama bangunan komersil seperti Metro, Ramayana, Mitra Plaza, hotel-hotel, ruko-ruko dll. Tepatnya pertokoan dan hotel di Jalan Lambung Mangkurat, sepanjang Jalan Pangeran Samudera dan Jalan Hasanuddin serta Kawasan Sudi Mampir. Adanya persaingan tampilan bangunan ini mengakibatkan tidak adanya keserasian satu dengan yang lain. Keadaan seperti ini disebabkan perencanaan di kota Banjarmasin tidak memperhitungkan faktor eksternal dan kurang memperhatikan perkembangannya di masa yang akan datang. Bangunan-bangunan megah dan permanen semakin menjamur, dilain pihak bangunan lokal seperti rumah lanting dan rumah tradisional Banjar satu persatu dihancurkan dan tidak dirawat. Contohnya bangunan rumah tradisional Banjar di Kelurahan Gadang banyak yang sudah hancur karena tidak dihuni, bahkan dialihfungsikan sebagai bengkel. Contoh lainnya adalah penggusuran rumah-rumah lanting untuk pembangunan rumah walikota yang sekarang dialihfungsikan.

Dilihat dari faktor skala, bangunan di Banjarmasin tidak proporsional dengan bangunan/massa disekitarnya dan ruang yang tersedia. Contoh: Ruko di km.1 antara lebar dan tingginya tidak proporsional. Contoh lain dapat dilihat yaitu bangunan baru Hotel Istana Barito yang menampilkan dinding masif (jika dilihat dari bagian belakang bangunan) dan ketinggian yang tidak proporsi dengan bangunan sekitar juga dengan ukuran jalan.

Identitas lain dari kota Banjarmasin yang hampir hilang adalah keadaan sosial budaya masyarakat Banjar. Masyarakat Banjar sangat menyukai kebersamaan. Masyarakat Banjar berorientasi secara horizontal atau mempunyai rasa ketergantungan kepada sesama.[2] Kebudayaan kita bertolak dari hubungan manusia dan alam serta manusia dan manusia kemudian baru kebebasan individu. Lama-kelamaan tanpa kita sadari nilai kebersamaan itu semakin menipis. Banyaknya bangunan yang depannya diberi pagar menunjukan rasa individualisme dari pemilik bangunan. Tata ruang dan pola sirkulasi di dalam gedung-gedung perkantoran mengurangi kesempatan untuk bertemu langsung antara sesama individu yang berada di dalam gedung tersebut. Contoh bangunan yang sering kita lihat adalah Gedung Mahligai Pancasila, Rumah Gubernur Kalimantan Selatan. Bangunan ini adalah salah satu bangunan yang menjadi identitas Kalimantan Selatan umumnya tetapi dengan adanya pembatasan atau pagar pemisah kesan dari kebersamaan dari masyarakat Banjar tidak terasa lagi. Jadi kita dapat beranggapan bahwa bangunan tersebut sebagai bangunan pemimpin rakyat yang pemimpinnya tidak mau merakyat.

Dari segi ekologi, Banjarmasin merupakan kota yang terletak di dataran rendah dipengaruhi oleh pasang surutnya air dan memiliki karakteristik lahan berupa tanah gambut dan rawa dimana dalam UU RI No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang Bab IV mengenai Perencanaan, Pemanfaatan dan Pengendalian yang megatakan bahwa ”Termasuk dalam kawasan lindung adalah kawasan hutan lindung, kawasan bergambut,...”. UU ini tidak berfungsi lagi karena karakteristik ini semakin tidak terlihat karena pengurugan tanah, rumah yang menggunakan pondasi sistem rumah panggung semakin berkurang.

Hampir diseluruh bagian kota banyak ditemui anak-anak sungai yang terbentuk secara alamiah sesuai dengan siklusnya. Tetapi dalam beberapa tahun terakhir ini banyak anak-anak sungai yang sengaja ditutupi atau dipersempit karena kebetulan termasuk dalam area perencanaan gedung sehingga terjadi gangguan siklus air. Contoh daerah yang mengalami gangguan siklus air; Kawasan Sultan Adam, Jalan Pramuka, Jalan Gatot Subroto dan kawasan lainnya yang saluran air/sungainya diurug.

Di beberapa tempat terjadi genangan-genangan air dengan segala dampak negatifnya. Keadaan ini jelas semakin memperbesar masalah ekologi.

Budaya adalah cara hidup berperilaku dan beradaptasi yang dipelajari. Hal tersebut berbeda dengan mitos-mitos yang diwariskan oleh nenek moyang tanpa proses belajar. (Marwan,2000;21).

Pengertian budaya sungai meliputi cara hidup berperilaku dan adaptasi manusia yang hidup di tepi sungai. Adapun tradisi merupakan bagian dari budaya.[3] Dari pendapat ini, maka dapat disimpulkan bahwa tradisi masyarakat Banjar yang berorientasi kepada sungai semakin berkurang dan kesan Banjarmasin sebagai kota seribu sungai semakin memudar.

Manusia membutuhkan kenikmatan psikologis dengan melihat dan merasakan eksistensi mereka dalam arus kesinambungan masa lampau, masa kini dan masa depan.[4] Kenikmatan psikologis tidak dapat dirasakan dengan display visual di kota Banjarmasin. Sungai sebagai pemandangan yang indah di sepanjang jalan mulai hilang karena diurug, Di setiap ruas jalan tidak terdapat pohon-pohon pelindung dan pohon-pohon lokal seperti rambai padi yang merupakan salah satu identitas kota sehingga masyarakat maupun pendatang tidak mengalami suasana yang berkesan setiap melewati jalan di kota Banjarmasin.

Dalam hal budaya dan kesenian daerah Banjarmasin memiliki beragam kesenian daerah dimulai dari tarian daerah seperti Tari Hadrah, Tari Radab, tari Baksa, Tari Japin Rantauan serta tari-tari lainnya hasil karya seniman lokal. Kesenian lainnya adalah madihin dan mamanda serta musik panting. Namun yang disayangkan kurangnya partisipasi masyarakat untuk megembangkan potensi daerah tersebut. Dapat dilihat dari data seniman Banjar yang semakin berkurang. Pemusik panting di Taman Budaya Kalimantan Selatan yang masih eksis sekarang ini adalah seniman-seniman yang usianya sudah tua. Dari keadaan ini dapat dilihat bahwa tidak ada peran serta dari kaum muda untuk mengembangkan kesenian daerahnya.

Banjarmasin juga dikenal dengan kota religius dengan indikasi ”padatnya” langgar yang berada di kota ini. Tapi makana banyaknya langgar digunakan hanya sebagai simbol pada masyarakat Banjar sekarang ini. Pada saat adzan berkumandang masih terlihat masyarakat yang berlalu lalang di depan mesjid dan langgar-langgar. Hal ini membuat identitas religius tidak terasa.

Identitas religius berupa bangunan dapat dijumpai di kota Martapura misalnya, yang menyulap alun-alun kota dengan menara-menara bertuliskan huruf-huruf Al-Qur’an. Dalam bentuk non-fisik religiusitas dapat diimplementasikan dalam berbagai aturan hukum yang mengarah pada suasana kehidupan yang agamis. Diantara kemerosotan identitas kota Banjarmasin kita dapat merasakan identitas kota Banjarmasin pada saat bulan Ramadhan. Perda Ramadhan misalnya, sedikit banyak mencitrakan kota Banjarmasin berbeda dengan kota-kota lainnya ditanah air. Setiap bulan Ramadhan suasana Islami dan menghormati bulan suci itu terasa kental di kota ini. Dengan adanya pasar wadai dan larangan membuka warung dan restoran dan denda kepada orang yang makan/minum di depan umum.

Identitas religiusitas dalam konteks non-fisik ini sedapat mungkin terus ditingkatkan Banjarmasin, jika ingin berkarakter dan berbeda dengan kota-kota lain. Hal ini dapat dilakukan dengan membuat berbagai peraturan yang dapat memberi kesan religiusitas kota ini. Seperti adanya aturan larangan berjudi, minum-minuman keras dan lain-lain selain ditempat yang telah ditunjuk oleh pemerintah kota setempat.



[1] Budiharjo, Eko.1983. Arsitektur dan Kota di Indonesia. Bandung: Penerbit Alumni (Buku Peringatan Dies Natalis Fakultas Teknik UNDIP ke XX, Oktober 1978) Hal 84

[2] Mata Kuluah Arsitektur Tradisional Kalimantan 1, 2003

[3] Gunadi, dkk. Sungai dan Kehidupan Masyarakat di Kalimantan, Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, Hal 106

[4] Budiharjo, Eko.1983. Arsitektur dan Kota di Indonesia. Bandung: Penerbit Alumni (Buku Peringatan Dies Natalis Fakultas Teknik UNDIP ke XX, Oktober 1978) Hal 87-88