Monday, March 17, 2008

Women's Crisis Center

Pusat Penanganan Wanita Korban Kekerasan sangat dibutuhkan atas dasar kecenderungan budaya patriarkhi yang menguatkan kedudukan laki-laki di satu sisi dan melemahkan kedudukan wanita di sisi yang lain. Akibatnya wanita rentan mengalami kekerasan seperti perkosaan, pelecehan seksual, kekerasan terhadap istri, kekerasan dalam pacaran dan sebagainya.

Deklarasi Penghapus Segala Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa tahun 1993 membagi ruang terjadinya kekerasan terhadap perempuan atas tiga lingkup, yaitu di keluarga (domestic), di masyarakat (public domain), serta dilakukan oleh negara (state). Pembagian ruang lingkup ini yang kemudian menguak kejahatan yang selama ini tersembunyi dan terlindungi dari intervensi luar untuk membantu korban dari berbagai bentuk kekerasan dalam keluarga yang belakangan ini dikenal sebagai kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence).

Definisi kekerasan terhadap perempuan menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan Pasal 1 berbunyi: “Kekerasan terhadap perempuan adalah segala bentuk tindakan kekerasan yang berbasis gender yang mengakibatkan atau akan mengakibatkan rasa sakit atau penderitaan terhadap perempuan termasuk ancaman, paksaan, pembatasan kebebasan, baik yang terjadi di area publik maupun domestik”. Kemudian, berdasarkan Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap perempuan yang dikeluarkan oleh Persatuan Bangsa Bangsa, Dalam Pasal 2 ditegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan harus dipahami mencakup, tetapi tidak hanya terbatas pada, hal-hal sebagai berikut:

a. Tindak kekerasan fisik, seksual dan psikologis terjadi dalam keluarga, termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas perempuan dalam rumah tangga, kekerasan yang berhubungan dengan mas kawin, perkosaan dalam rumah tangga, pengrusakan alat kelamin perempuan dan praktek-praktek kekejaman tradisional lain terhadap perempuan, kekerasan diluar hubungan suami-istri dan kekerasan yang berhubungan dengan eksploitasi.

b. Kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi pada masyarakat luas, termasuk perkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan dan ancaman seksual di tempat kerja, dalam lembaga-lembaga pendidikan dan sebagainya, perdagangan perempuan dan pelacuran paksa.

c. Kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan atau dibenarkan oleh Negara, dimanapun terjadinya.

Menurut UU RI No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Secara umum Undang-Undang ini menjelaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Menurut data yang didapat di Poltabes Banjarmasin (2006), bentuk-bentuk kekerasan terhadap wanita dalam rumah tangga dibagi menjadi empat, yaitu:

1. Kekerasan Fisik menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam Bab XX, meliputi:

a. Penganiayaan Ringan.

Penganiayaan ringan berdasarkan pasal 352 KUHP adalah penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian.

b. Penganiayaan Biasa

Penganiayaan biasa adalah penganiayaan yang menimbulkan luka-luka.

c. Penganiayaan Berat

Penganiayaan berat adalah penganiayaan yang menyebabkan cacat fisik berat dan/atau kematian terhadap korban

2. Kekerasan Psikis

Kekerasan psikis mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, rasa tidak berdaya, perampasan kemerdekaan (sekap) dan membatasi ruang gerak.

3. Kekerasan Seksual, meliputi:

a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap di lingkungan rumah tangga tersebut

b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain dengan tujuan komersial atau tujuan lainnya.

4. Penelantaran Rumah Tangga

Penelantaran ini maksudnya apabila dalam lingkungan rumah tangganya karena keinginan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut tetapi ia tidak memenuhi kewajiban tersebut baik lahir maupun batin.

Tabel Bentuk Kerasan Serta Dampaknya

Bentuk Kekerasan

Dampak

Fisik

Ringan

Tidak menimbulkan penyakit

Biasa

Luka-luka

Berat

Cacat fisik

Psikis

Ketakutan, hilangnya percaya diri

Seksual

Cacat fisik, ketakutan, hilangnya percaya diri

Penelantaran RT

Tidak terpenuhinya nafkah lahir maupun batin

Sumber: KUHP Bab XX

Bentuk dan Macam Penanggulangan Tindak Kekerasan terhadap Wanita:

(1) Secara Medis

Pelayanan secara medis dengan cara pemberian pertolongan pertama pada korban tindak kekerasan. Pelayanan dapat berupa pengobatan luka fisik dan pemberian obat serta konsultasi kesehatan.

(2) Secara Hukum

Penanggulangan secara hukum dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu konsultasi hukum dan advokasi. Korban diberikan perlindungan hukum sesuai dengan hukum pidana yang dikeluarkan oleh negara. Berikut ini adalah upaya hukum untuk melindungi wanita:

a. Kekerasan fisik dapat dituntut dengan pasal penganiayaan (pasal 351-358 KUHP)

b. Pelecehan seksual dapat dituntut pasal 289-298, 506 KUHP, tindak pidana terhadap kesopanan pasal 281-283, 532-533 KUHP

c. Perkosaan dapat dituntut dengan pasal 285 KUHP.

d. Pasal pencabulan 289-298 KUHP

e. Pasal 506 KUHP tentang pelecehan seksual

f. Pasal 281-283 KUHP

g. Pasal 533 KUHP

h. Pasal 297 KUHP tentang perdagangan wanita

i. UU ketenagakerjaan pasal yang mengatur tidak ada kontrak dan tidak sesuai kontrak

j. Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT)

k. Pasal 378 KUHP

l. KUHPerdata 1365

Sedangkan advokasi adalah suatu teknik pembelaan yang dikenal dalam dunia hukum. Advokasi ditujukan untuk membela korban (victim) yang dapat dilakukan melalui 2 cara, yaitu litigasi dan non litigasi.

Advokasi dalam kontek litigasi adalah advokasi yang berkaitan dengan proses peradilan, mulai dari pelaporan dan/atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntunan sampai dengan proses peradilan. Sedangkan advokasi dalam kontek non litigasi adalah advokasi yang dilakukan di luar proses peradilan. Advokasi dalam bentuk litigasi dilakukan dengan memberikan pendampingan terhadap korban kekerasan melalui proses berikut:

a. Melakukan pengaduan kepada kepolisian setempat atau langsung kepadan Pusat Penanganan Wanita Korban Kekerasan atas terjadinya tindak pidana dan kekerasan yang terjadi pada korban.

b. Memberikan pendampingan secara kontinyu dan konsisten kepada korban pada saat:

* Pembuatan Berita Acara Penyidikan (BAP) oleh Polisi yang bertindak selaku penyidik.

* Pembuatan dakwaan dan tuntutan yang dilakukan oleh Jaksa

* Memberikan advokasi berupa bantuan hukum pada saat korban dihadirkan di pengadilan sebagai saksi korban

* Membantu Jaksa dalam menghadirkan para saksi yang memberatkan (saksi a charge), maupun saksi ahli

* Memberikan pendampingan berupa melakukan upaya hukum lanjutan dan lain-lain.

Advokasi non litigasi dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti:

a. Membangun jaringan strategis untuk mengusung isu/opini tertentu (dalam hal ini kekerasan terhadap wanita) agar menjadi opini publik, sehingga dapat ditangani secara serius oleh aparat yang berwenang. Pembangunan isu/opini tersebut dapat dilakukan dalam berbagai media, seperti tulisan di media cetak, demontrasi, hearing dan lain-lain.

b. Memberikan pemahaman kepada pelaku kekerasan sekaligus menjadi mediator dan konsultan bagi perlaku dan korban. Dengan adanya pemahaman yang diikuti dengan mediasi, konsultan bahkan supervisi diharapkan tidak terjadi lagi kekerasan.

(3) Secara Psikologi

Dengan cara melakukan pendampingan terhadap korban, berupa terapi psikologis dan sosiologis. Terapi psikologis dilakukan bertujuan untuk membantu korban meminimalisir gangguan psikologis yang muncul akibat kekerasan yang dialaminya. Sedangkan terapi sosiologis bertujuan untuk membantu korban menghilangkan rasa keterasingan dan kurangnya komunikasi dengan lingkungan sekitar, serta membantu menumbuhkan rasa empati dengan lingkungannya.

Layanna konseling psikologi dapat juga dilakukan dengan Support Group, yaitu Layanan konseling kelompok ini diberikan untuk meyakinkan wanita korban kekerasan bahwa dirinya bukanlah satu-satunya orang yang mengalami kekerasan. Dengan saling bercerita dan bertukar pikiran dengan korban lainnya yang ditemani oleh ahli psikologi yang dapat membantu mencari jalan keluar permasalahan.

Untuk menjaga kondisi psikis korban maka diperlukannya Shelter, yaitu merupakan “rumah aman” sementara sebagai bentuk intervensi darurat bagi korban. Shelter juga sebagai tempat menyepi sementara untuk mengambil keputusan. Keamanan, kerahasiaan dan kenyamanan bagi para penghuninya dijamin dalam layanan ini.

(4) Secara Religius

Secara religius, penanganan dilakukan dengan cara bekerjasama dengan departemen agama dan pemuka-pemuka agama setempat. Bagi korban yang memerlukan konsultasi secara religius maka pemuka agama dipanggil untuk memberikan konsultasi dan siraman rohani. Kegiatan ini dilaksanakan minimal satu minggu sekali.

Dipandang dari sudut pandang Islam, penanggulangan atas kekerasan terhadap perempuan dikenal dalam kasus syiqaq. Menurut Rasyid Ridha sebagaimana dikutip oleh Abdul Manan (2000:237), secara terminologi syiqaq adalah perselisihan antara suami dan istri, perselisihan ini diantaranya disebabkan karena suami berbuat kejam atau aniaya kepada istrinya. Oleh karena itu, Sayid Sabiq (1977:248) mengkatagorikan perselisihan ini sebagai perceraian yang disebabkan oleh dharar atau membahayakan. Adapun bentuk dharar atau sesuatu yang membahayakan tersebut menurut Imam Malik dan Ahmad sebagaimana dikutip Abdul Manan (2000:237) adalah suami suka memukul, suka mencaci, suka menyakiti badan/jasmani istrinya dan memaksa istrinya untuk berbuat munkar. Seluruh perbuatan dharar tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan terhadap wanita, baik fisik, maupun psikologis, jika dikaitkan dengan definisi kekerasan terhadap perempuan/wanita berdasarkan UU No.23 Tahun 2004.

Penanggulangan atas kasus syiqaq ini ditegaskan dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat 35 yang artinya: ”Jika kamu khawatir akan timbul perselisihan yang berakibat membahayakan (syiqaq) utuslah seorang juru penengah (mediator) dari keluarga laki-laki dan dari keluarga perempuan. Jika keduanya (suami istri) berkehendak melakukan perdamaian (menghentikan tindakan kekerasan) Allah akan memberikan taufiq kepada yang berselisih itu. Allah Maha Mengetahui lagi Maha mengenal”.

Dalam ayat tersebut penyelesaian atas kekerasan terhadap wanita dilakukan melalui tahap mediasi, dimana yang bertindak sebagai mediator adalah keluarga kedua belah pihak (suami istri). Jika tahap mediasi tidak berhasil, maka dapat ditempuh cara perceraian, dimana istri sebagai korban diberi hak untuk menuntut cerai. Hal ini juga diakomodir dalam Undang Undang No. 7 Tahun 1989 jo UU No. 1 tahun 1974.

Semakin meningkatnya kekerasan terhadap wanita ini memicu timbulnya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga No. 23 Tahun 2004. Undang-Undang ini saja tidak cukup dalam mengatasi permasalahan ini karena Undang-Undang hanya sebagai bantuan hukum yang pasif yang dapat membantu pada saat kasus atau perkara kekerasan terhadap wanita sudah masuk ke SP3 (sidang pengadilan ketiga atau sidang keputusan perkara). Sedangkan dalam kenyataan yang terjadi di masyarakat kasus kekerasan yang terjadi banyak yang tidak terdaftar dan tidak diketahui oleh pihak berwajib karena dengan melapor wanita merasa terancam atas laporannya. Adanya rasa terancam ini karena belum adanya jaminan hukum dan keamanan yang memadai terhadap pelapor juga adanya rasa takut dan malu atas aib rumah tangganya dengan orang lain. Untuk itu perlu adanya pendekatan yang lebih mendalam dalam mengatasi masalah ini.

No comments: